Senin, 07 Maret 2011



FENOMENA CYBERPORN
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM






            Keberadaan internet semakin pesat dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Di setiap daerah, terlebih di kota-kota besar, sangat menjamur warung internet (warnet) yang tersebar, tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi juga di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Terlebih saat ini, dengan adanya persaingan pasar sempurna, pebisnis warnet menawarkan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi kantong orang dewasa sampai dengan anak-anak. Tidak hanya itu, penawaran modem dan fasilitas pemasangan internet, baik kabel maupun tanpa kabel sudah memasuki segala lini di masyarakat. Setiap jasa telekomunikasi melengkapi teknologinya dengan fasilitas ini. Dengan harga pra bayar maupun pasca bayar yang tidak menguras kantong, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi ini dengan harga yang terjangkau. Di rumah, di sekolah, di tempat-tempat umum dapat menggunakan teknologi ini, bahkan dengan penawaran pemakaian secara unlimited. Di tempat-tempt publik pun, saat ini sudah banyak yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot area, sehingga tanpa mengeluarkan sepeserpun uang, dapat mengakses teknologi internet dengan mudah.

            Kemudahan lain dapat diperoleh dengan fasilitas kemudahan dalam penggunaan internet. Cukup dengan mengetik serangkaian kata melalui search engine (keyword) yang diinginkan, maka akan diperoleh dengan mudah data dan informasi yang disajikan oleh berbagai macam situs. Bahkan seringkali, kesalahan dalam menulis/mengetikkan keyword, dapat memunculkan data, gambar, atau informasi yang tidak diduga, bahkan tidak sedang dicari dan berbau pornografi. Ini karena internet memang menyuguhkan berbagai hal sehubungan dengan kebutuhan informasi dan komunikasi, baik yang bersifat publik mapun privat.  Perkembangan di bidang teknologi informasi yang semakin pesat saat ini merupakan jawaban atas makin komplesknya kebutuhan manusia akan informasi dan komunikasi Jaringan komunikasi dan informasi dunia atau dikenal juga dengan teknologi cyberspace, berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Internet adalah media penyedia informasi dan kegiatan komunitas komersial terbesar dan tumbuh berkembang dengan sangat pesat. Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm. . Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan, sebagaimana yang dimyatakan oleh Neill Barrett dan Mark D. Rasch bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, di mana 80% gambar di internet adalah gambar porno. Cyberporn atau cybersex merupakan salah satu dari sisi negatif dari adanya teknologi informasi ini. Hal ini disebabkan sex merupakan suatu komoditi yang dapat membawa profit cukup besar dalam bisnis, terlebih melalui jasa e-commerce. Pornografi yang merambah sampai ke dunia maya dapat dengan mudah diakses oleh siapapun, tanpa batasan usia, kelamin, tingkat pendidikan, maupun stratifikasi sosial. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi sex secara online, melahirkan kepuasan dan keprivatan tersendiri, yang seringkali didalilkan tidak banyak merugikan, karena keresahan dan efek negatifnya tidak secara langsung dapat dirasakan.

            Berdasarkan kenyataan inilah, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini dari sudut pandang ilmu sosiologi hukum, karena keberadaan cyberporn di satu sisi dijadikan pembenaran sebagai sarana kebutuhan yang relatif responsif dengan kebutuhan jaman dan di sisi lain memberikan dampak yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga tuntutan akan aturan hukum menjadi ultimum remedium atas kebijakan penal negara untuk memberikan ganjaran dengan sanksi hukumnya, dan sekaligus sebagai warning atau penentu norma sebagai kebijakan non penalnya. Permasalahan ini akan penulis bahas lebih lanjut dalam tulisan yang berjudul Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum.


PERMASALAHAN

           
Salah satu bentuk cyber crime yang sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan, karena perkembangannya yang pesat dan dampak negatifnya yang luas dan berbahaya adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan, yaitu cyberporn. Minimnya kontrol terhadap peredaran cyberporn, baik oleh Pemerintah, aparat maupun menyedia jasa internet, mengakibatkan internet di Indonesia menjadi media non sensor yang online 24 jam dan dapat dikonsumsi oleh siapa pun, termasuk anak-anak dan remaja dengan harga yang relatif murah. Oleh karena itu perlu adanya penelitian, pengkajian dan analisis mengenai kebijakan hukum pidana saat ini maupun kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang dalam rangka upaya penanggulangan dan pencegahannya. Dalam tulisan ini, pokok permasalahan yang selanjutnya akan dipaparkan dalam pembahasan adalah :

1. Bagaimanakah fenomena cyberporn di Indonesia dan penegakan hukumnya?
2. Bagaimanakah fenomena cyberporn dalam perspektif sosiologi hukum ?

PEMBAHASAN


A. Fenomena Cyberporn

            Perkembangan teknologi telah memberikan ruang dan peluang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat. Internet adalah salah satu sarana/media yang sering digunakan untuk melakukan transaksi dagang, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran berita dan informasi, di sisi lain dimanfaatkan pula untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya, bahkan dalam transaksi seks.
Menurut Dimitri Mahayana internet merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan) yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan. Secara etimologi, pornografi berasal dari dua suku kata, yaitu pornos dan grafi. Pornos, artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan di masyarakat.

            Pornografi bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Bahkan dalam lingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali. Pornografi tradisional biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape. Kehadiran Internet dan cyberspace memberi warna tersendiri dalam persoalan pornografi. Pornografi di internet berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences yang terdapat dalam Title 3, article 9. Setidak-tidaknya ada empat pendapat yang berkaitan dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen, yaitu:
“Pornography is bad because it is violence and oppression (Catharine Mackinnon) Pornography must be tolerated for free speech reasons (Nadine Strossen) Pornography is good, liberating, allows us to grow as sexual beings (Wendy McElroy) Pornography is absolutely bad by religious commandement or other rule arising from a morality of prohition”.

            Jaringan komunikasi global interaktif melalui fasilitas internet relay chat dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cybersex. Ada dua bentuk dari cybersex dalam ruang chatting, yaitu Computer mediated interactive masturbation in real time dan Computer mediated telling of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal.

            Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,
pornografi adalah : gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

            Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Berdasarkan pengertian pornografi yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan pornografi secara luas, dalam arti yang dipublikasikan melalui berbagai bentuk media komunikasi. Namun, secara khusus masalah pornografi melalui dunia maya terdapat dalam lex specialie-nya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. American Demographic Magazine yang menghitung jumlah situs porno dan jumlah halaman situs porno. Pada tahun 1997 terdapat 22.100 situs porno. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 280.000 dan pada tahun 2003 meningkat hamper empat kali lipatnya, yaitu menjadi 1,3 juta situs porno. Sedangkan, halaman situs porno di dunia pada tahun 1998 terdapat 14 juta dan meningkat tajam pada tahun 2003, yaitu menjadi 260 juta. Pada tahun 2008, data terakhir halaman situs porno di dunia telah mencapai 420 juta. Kenyataan ini tidak dapat terelakkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Washington Times tahun 2000. Weiss menyatakan bahwa sex adalah topik no. 1 yang dicari di Internet. Studi lain yang dilakukan oleh MSNBC/Standford/Duquesne menyatakan bahwa 60% kunjungan internet adalah menuju ke situs sex (porno). Data ini disempurnakan oleh publikasi dari The Kaiser Family Foundation yang menyatakan bahwa 70% kunjungan pengguna Internet belasan tahun adalah menuju ke situs pornografi. Penelitian lain yang dikeluarkan oleh TopTenReviews.Com menyatakan bahwa sebenarnya dominasi pengunjung Internet di Amerika justru orang berumur 35-44 tahun (26%). Lengkapnya lihat dari gambar di bawah ini :

Age                   Prosentase (%)
18-24                       13,61%
25-34                       19,90%
35-44                       25,50%
45-54                       20,67%
55+                          20,32%


            Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono dinyatakan bahwa setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta. Penyebaran pornografi di dunia maya sangat berhubungan dengan industry pornografi yang melintasi batas antar negara. Amerika merupakan Negara penyumbang terbesar 89% situs pornografi di dunia. Diikuti oleh Jerman, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda menyusul di belakangnya. meskipun Amerika penyumbang situs porno terbesar di dunia, ternyata hanya menduduki urutan keempat dalam jumlah pendapatan (revenue) dari industri pornografi di dunia. Pemenangnya justru China yang diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang. Total pendapatan pertahun industri pornografi di dunia adalah sekitar 97 miliar USD, ini setara dengan total pendapatan perusahaan besar di Amerika yaitu: Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo!, Apple, Netflix and EarthLink. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya industri pornografi di dunia. Sedikit berkaitan ini, salah satu tulisan di CNET tahun 1999 menyebutkan bahwa: Pornografi online adalah produk ecommerce yang secara konsisten menduduki peringkat pertama dalam bisnis di Internet. Dari berbagai data tentang pornografi Internet diatas, yang cukup mencengangkan adalah bahwa ternyata penikmat dan penerima ekses negatif dari industri pornografi di Internet bukan negara-negara produsen, tapi justru negara-negara kecil dan berkembang sebagai konsumen. Kita bisa lihat dari tren request pencarian dengan tiga kata kunci, yaitu xxx, porn dan sex, semuanya dikuasai oleh negara kecil atau berkembang seperti Pakistan, Afrika Selatan, India, Bolivia, Turki, dan juga Indonesia.


Keyword : sex
1 Pakistan
2 India
3 Egypt
4 Turkey
5 Algeria
6 Morocco
7 Indonesia
8 Vietnam
9 Iran
10 Croatia


            Menurut Dr. Mary Anne Layden seorang peneliti dari University of Pennsylvania, cyberporn membawa dampak yang tidak baik, yaitu :, meningkatnya kriminalitas. Ia mengatakan  ”Saya telah memberikan pendampingan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Dan saya belum pernah menangani 1 kasus pun yang tidak diakibatkan oleh Pornografi. Pornografi memicu agresifitas dan pada akhirnya memicu seseorang untuk melakukan perbuatan kriminal.” Kedua, resiko terhadap psikologis dan pendidikan. Menurut VB Cline, seorang riserter masalah psikososial dan pornografi, mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : (1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu : peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu : kian menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu : Pecandu pornografi mulai mempraktekan. Ketiga, resiko kesehatan. Menurut Divisi Kesehatan ASA Indonesia Dewi Inong Irara, spesialis penyakit kulit dan kelamin, memaparkan resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS ) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Keempat, resiko kultural ( pergeseran nilai-nilai ). Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.


B. Penegakan Hukum Cyberporn di Indonesia

            Untuk mencegah dan menanggulangi maraknya pengakses situs porno, maka hukum pidana dapat digunakan untuk sebagai alat meskipun hanya bersifat pengobatan simptomatik. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial dan keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai bagian dari politik kriminal.
Dalam KUHP, pornografi merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283. Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282 KUHP baik yang terdapat dalam ayat (1), (2) maupun (3) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a)      menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;
b)      membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;
c)      dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh di dapat.

            Di luar KUHP, negara telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianggap kurang memadai dan belum mampu memenuhi kebutuhan penegakan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna dengan nama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pornografi.

            Selanjutnya, untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1, sebagaimana dinyatakan dalam  Pasal 45 ayat (1), bahwa : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.

            Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Selain itu, juga telah ada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 menetapkan Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Teknologi Telematika (ICT). di Indonesia yang tertuang dalam INPRES No. 6 Tahun 2001. Dalam INPRES tersebut dinyatakan bahwa warung internet (warnet) merupakan ujung tombak untuk mencapai tujuan yang diinginkan di samping warung telekomunikasi (wartel). Teknologi warung internet dimungkinkan untuk masuk ke desa-desa terpencil di pegunungan maupun di pantai asal ada infrastruktur telekomunikasi meskipun mungkin tidak sebaik di perkotaan. Ini berarti teknologi informasi melalui internet telah merambah dan masuk ke daerah-daerah tanpa mampu dihindari. Di satu sisi, bermanfaat membuka cakrawala ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat di daerah. Namun, kemanfaatan ini apakah sudah sesuai dengan kemungkinan resiko dan efek negative yang mungkin timbul dengan keberadaan internet? Belum tentu. Selain menjadi ujung tombak dalam rangka pemberdayaan teknologi informasi dan telematika, warung internet juga merupakan ujung tombak bagi para penikmat situs-situs porno. Dalam konteks pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, pengusaha atau pemilik warnet menghadapi dilema. Dilema-dilema tersebut adalah:

a.       situs porno merupakan daya tarik yang luar biasa dan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan bagi pengusaha ini merupakan icon keuntungan;
b.      adanya larangan atau himbauan bagi penunjung untuk tidak mengakses situs porno akan menurunkan jumlah pengunjung;
c.       untuk mengontrol pengguna internet agar tidak memasuki situs porno sangat sulit karena diperlukan biaya yang relative besar
d.      pembatasan usia pengunjung warnet akan semakin mempersulit pemasaran yang akibat lebih jauh mengakibatkan gulung tikar usaha warnet;
e.       tidak semua pengusaha atau pemilik warnet mempunyai kemampuan untuk memasang software yang mampu menyaring situs-situs mana yang boleh dibuka.

            Kebijakan penal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, dalam penegakan hukumnya belum dapat berjalan dengan baik karena terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Ada banyaknya persepsi dalam memberikan penafsiran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tentang pornografi. Seringkali, penafsiran pornografi dan kesusilaan berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Di samping itu adalah kesulitan dari aparat keamanan untuk melacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar atau tulisan porno, krn locus delicte dari cyberporn adalah cyberspace itu sendiri. Diperlukan keahlian dan kemampuan berselancar di dunia maya untuk mengikuti modus cyberporn yang terus menerus berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telematika yang ada. Selain itu adalah keengganan hakim-hakim kita untuk mendobrak tradisi lama yang legism oriented dengan pendekatan baru yang mengedepankan searching for turth and justice.
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam setiap kebijakan penal, harus mampu diimbangi dan diminimalisir dengan kebijakan non penalnya, sehingga kebijakan penal dan non penal harus berjalan beriringan dan saling melengkapi, sehingga efektivitas penegakan hokum tidak mengalami stagnasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran dan penyaringan/ pemfilteran data dan informasi melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi dengan mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi. Di sisi lain, peran serta masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak negative pornografi dan upaya pencegahannya. Kebijakan non penal dapat pula dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Walaupun di dalam praktiknya koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat tersebut karena di satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan. Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak hukum. Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga warnet-warnet yang mampu untuk itu) terdapat beberapa software yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka yang belum cukup umur. Selain itu, dapat dilakukan pula dengan menggunakan pendekatan sosial budaya (berupa ikut campurnya mereka-mereka yang terlibat dalam bisnis layanan jasa internet) dan secara teknis atau techno prevention berupa penambahan software-software tertentu pada perangkat komputer yang digunakan untuk akses ke internet.

C. Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum
            Sosiologi hukum memandang hokum sebagai bentuk perwujudan dari kehendak masyarakat. Karena pada dasarnya, hokum itu ada karena ada masyarakat. Ketika terbentuk suatu komunal yang bernama masyarakat, diperlukan aturan-aturan yang pada dasarnya dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur kehidupan kebersamaan mereka guna mencapai tujuan-tujuan. Keberadaan masyarakat hendaknya dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum. Menurut Emille Durkheim, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”. Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial. Secara sosiologi hukum makro, kenyataan (das sein) merupakan suatu realitas yang tidak dapat terpisahkan dari system social. Ini berarti, adanya kesinambungan dan kesatuan di antara bagian-bagian sebagai keseluruhan elemen di masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh M. Munandar Soelaeman, bahwa masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang salig berkaitan dan menyatu dalam kesinambungan. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dan setiap elemen dalam satu system social fungsional terhadap yang lain. Ini disebut dengan teori fungsionalisme structural, yang menjadi bagian teori dari paradigma fakta social. Keberadaan cyberporn di Indonesia lengkap dengan teknologi informasi dan telematika yang menyertainya merupakan suatu realitas teknologi yang masuk ke Indonesia melalui kecanggihan cyberspace. Oleh karenannya, masyarakat Indonesia tidak dapat mengelakkannya karena merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak dapat membatasi diri dari pergaulan dunia dan menutup diri akan kebutuhan teknologi di jaman globalisasi ini. Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik sendiri, dengan keunggulan nilai-nilai dan norma-norma yang secara menginternal menjadi satu kesatuan dari bagian masyarakat. Norma-norma dan pola nilai ini disebut dengan institutions atau biasa disebut dengan pranata. Dalam sosiologi modern, pranata social ini dipandang sebagai antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktifitas manusia dalam masyarakat. Pornografi adalah hal yang pada dasarnya melukai norma-norma di masyarakat Indonesia yang selama ini dipegang teguh. Oleh karena itulah, kebijakan penal yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan pornografi telah diundangkan. Das Sollen yang yang merupakan arah tujuan hokum yang bersifat abstrak dan harapan akan hokum yang seharusnya (ideal), masih menempatkan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri kekurangan dan kelemahan tentang substansi hukumnya, yang seringkali mengalami ketegangan (spannungsverhaltnis) karena banyak hal dalam substansi undang-undang yang tidak sejalan dengan kultur hukumnya, seperti ancaman hukuman yang sangat berbeda ketika Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE tentang pasal pornografi dibandingkan. Padahal keduanya merupakan undang-undang di luar KUHP yang memiliki fungsi sama sebagai lex specialis dalam permasalahan pornografi. Namun, menurut teori fungsionalisme structural, keberadaan cyberporn menguji kekuatan nilai dan norma yang selama ini membingkai keteraturan di dalam masyarakat sekaligus menjadi skala dan parameter, sejauhmanakah cyberporn mampu menggilas habis kekuatan nilai dan norma yang selama ini dipertahankan di masyarakat. Sistem social yang disangga oleh kekuatan nilai dan norma apakah akan runtuh sedemikian dahsyatnya dengan masuknya cyberporn. Karena menurut teori, masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan (equilibrium) karena di masyarakat telah dilengkapi dengan system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu sehingga masyarakat senantiasa seimbang. Semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Melihat fenomena cyberporn di Indonesia sebagaimana telah penulis jelaskan, tampak bahwa efek negative dari cyberporn telah mewabah dan sebagian telah merusak generasi, dari mulai anak-anak generasi muda dan bahkan sampai usia tua. Sedangkan pada kenyataannya, keberadaan internet telah masuk sampai ke daerah-daerah di pinggiran kota dan pedalaman. Terlebih Indonesia telah masuk dalam peringkat 10 besar pengguna internet yang memanfaatkan cyberporn dalam aktifitasnya di dunia maya. Ini berarti, banyak pranata yang telah ditinggalkan dan tergilas oleh keberadaan cyberporn. Nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat semakin terkikis, sehingga ukuran atau patokan yang mendasari nilai-nilai mengalami pergeseran, dari yang tidak baik, menjadi lumayan baik, atau bahkan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Demikian juga dengan patokan berperilaku yang mendasari norma-norma, menjadi semakin kabur. Namun di sisi lain, keberadaan cyberporn telah melahirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pornografi, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 44 Tahun 2008. Walaupun sangat terlambat dan kurang reponsif akan perkembangan masyarakat dan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara fungsionalisme structural, keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

KESIMPULAN

1.      Cyberporn atau pornografi di dunia maya telah menjadi bagian satu paket dengan masuknya teknologi informasi dan telematika internet ke Indonesia yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga dirasakan dampak negatifnya.
2.      Penegakan hukum cyberporn dilakukan dengan dua kebijakan, yaitu kebijakan penal melalui peraturan perundang-undangan, yaitu diundangkan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dan kebijakan non penal melalui sosialisasi, pendidikan upaya-upaya preventif lainnya yang berfungsi mencegah dampak negative keberadaan cyberporn bagi masyarakat.
3.      Keberadaan cyberporn secara sosiologis telah mempengaruhi efektivitas nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan sebagai pranata yang selama ini mengatur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi keterkikisan nilai-nilai yang pada akhirnya dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai di masyarakat. Oleh karena itu, secara fungsionalisme structural, kebijakan penanggulangan pidana secara penal dan non penal adalah bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Barrett, Neill, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, London, Kogan Page Ltd.
Blumen, Jonathan, 1995, Is Pornography Bad ? http://www.spectacle. org/Is_Pornography_Bad.html.
Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Friedman, Wolfgang, 1953, Legal Theory, London, Stevens and Sons,.
Hamman, Robin B., 1996, Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms,30 September, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.com/Cyberorgasm.html.
Hamzah, Andi, 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, Bina Mulia,.
Hunt, Alan, 1978, The Sociological Movementin Law, London, Billing and Sons.
Mahayana, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung, Rosda. Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Perkasa. Perdana, Ricky, 2009, Pornografi di Indonesia Semakin Mengganas, http://riky-perdana.blogspot.com/2009/01/pornografi-di-indonesia-semakin.html
Raharjo, Agus dan Sunaryo, 2002, Cyberporn (Studi Tentang Aspek Hukum Pidana Pornografi Di Internet, Pencegahan dan Penanggulangannya), Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti.
Ritzer, George, 1980, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Allyn and Bacon Inc.
Soelaeman, M. Munandar, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar