Jumat, 04 Maret 2011

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAYANGAN KOMEDI YANG MENGGUNAKAN UNSUR KEKERASAN SEBAGAI BAHAN LAWAKAN DITINJAU DARI UU NO. 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN



PENDAHULUAN

Televisi merupakan sarana komunikasi utama di sebagian besar masyarakat kita, televisi telah menjadi sebuah barang kebutuhan dalam sebuah rumah tangga, televisi bisa sebagai sumber pengetahuan bahkan juga bisa menjadi sebagai sumber malapetaka. Banyaknya bukti dampak tayangan kekerasan hendaknya menjadi informasi tambahan untuk mengkaji ulang terhadap tayangan pada televisi. Tayangan televisi harus di atur,  karena mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat, yakni anak-anak dan remaja. Terlebih karena televisi bersifat audio visual sinematografis yang memiliki dampak besar terhadap perilaku  khalayaknya.
Tayangan televisi merupakan media massa yang paling banyak dipergunakan oleh masyarakat. Tidak mengherankan jika banyaknya tindak kekerasan yang ditayangkan di televisi mempengaruhi perilaku seseorang. Efek tayangan kekerasan sangatlah berbahaya bagi orang-orang yang kurang bisa menganalisis dan mengidentifikasi tayangan-tayangan kekerasan di televisi. Seiring dengan semakin banyaknya tayangan yang mengandung unsur kekerasan maka kemungkinan seseorang untuk meniru perilaku itu semakin besar.
Dampak tayangan kekerasan di televisi paling sering melanda anak-anak. Dimana anak-anak menganggap adegan kekerasan tersebut sebagai hiburan. Hal itu akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak ketika telah menjadi lebih dewasa. Dia akan merasa sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan dan tidak merasa takut untuk melakukannya.
Daya tarik sebuah tayangan televisi memang sangat relatif. Fenomena yang terjadi, banyak tayangan kurang mendidik justru sangat diminati masyarakat, sementara tayangan-tayangan yang mendidik justru cenderung ditinggalkan. Padahal hanya tayangan-tayangan yang mendapat perhatian besar masyarakatlah yang mampu menarik iklan dalam jumlah besar. Karena itulah, stasiun-stasiun televisi tetap menyajikan tayangan-tayangan yang disukai masyarakat, terlepas bahwa kualitas tayangan itu sendiri disadari cenderung menjerumuskan atau kurang bermanfaat bagi masyarakat.
Pengelolaan media khususnya stasiun televisi memang tak bisa dipisahkan dengan bisnis. Hampir semua tayangan diharapkan mampu memberikan masukan dari sisi komersial. Namun, satu hal harus tetap mendapat perhatian secara saksama, yakni upaya untuk terus meningkatkan kualitas siaran. Selain itu, tanggung jawab moral para pengelola televisi perlu terus ditumbuhkan dalam upaya meredam pengaruh negatif siaran televisi.
Tayangan-tayangan televisi idealnya tak hanya asal menghibur dan laku jual, namun sekaligus harus mampu mendatangkan manfaat positif bagi masyarakat luas. Di sinilah tantangan itu menghadang para pengelola televisi di tanah air, yakni bagaimana menciptakan sebuah kemasan tayangan yang menarik, menghibur, laku jual, dan sekaligus mampu memberikan pendidikan sehat bagi pemirsanya.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran bahwa “Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau yang berbentuk grafis, karakter baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran”.
Tayangan televisi yang disiarkan tentunya harus memenuhi asas-asas yang terkandung di dalam ketentuan perundang-undangan sebagai suatu pedoman penyiaran sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh masyarakat sebagai pemirsa.
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 disebutkan bahwa “Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab”.
Akan tetapi asas ini dalam prakteknya tidak semua diterapkan oleh stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran khususnya lembaga penyiaran swasta. Contohnya adalah adanya tayangan komedi yang mengunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan.  
Penayangan komedi yang mengunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan dapat dikatakan bertentangan dengan asas penyiaran, khusunya asas manfaat bagi masyarakat. Yang memperihatinkan bahwa perilaku menyimpang tersebut seperti menjadi suatu yang dihalalkan/dibenarkan bahkan diberikan suatu keistimewaan dengan dibuatkannya suatu acara komedi dengan tayang setiap hari di jam prime time (jam televisi banyak ditonton) Selain itu, banyak para pakar hukum perlindungan anak yang menyatakan bahwa tayangan kekerasan di televisi akan membawa pengaruh pada perkembangan psikologis anak dimana anak-anak yang menonton tayangan cendrung akan meniru apa yang mereka lihat di televisi termasuk kekerasan yang dilakukan para pelawak seperti contohnya “dalam satu adegan pelawak saling pukul, atau saling dorong hingga terjatuh, moment jatuh dan kesakitan mereka tersebut menjadi sesuatu yang lucu dan mengundang tawa bagi penonton dan pemirsa televisi , namun tentunya apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah adegan / lakon yang sengaja di lakukan untuk mengundang tawa dan alat yang di gunakan pada saat adegan saling pukul pun adalah bahan yang tidak berbahaya yaitu menggunakan Styreofoam (benda lunak dari busa/gabus) yang tidak akan membuat para pelawak cedera, namun dibalik tayangan kekerasan itu, kita bisa saja mencontoh apa yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kekerasan di televisi. Terutama bagi anak-anak, mereka akan merasa terbiasa dengan tindak kekerasan, tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain, hingga akhirnya berkurang atau hilangnya kepekaan terhadap kekerasan itu sendiri, dan mengangap kekerasan adalah sesuatu hal yang lucu. Hal itu memungkinkan anak-anak melakukan tindak kekerasan tanpa adanya rasa takut.
Namun tayangan tersebut muncul di masyarakat menjadi dilema tersendiri, di sisi lain kita membutuhkannya sebagai hiburan setelah seharian beraktifitas, tetapi disisi lain tayangan tersebut secara tidak langsung memberikan contoh yang tidak baik kepada masyarakat karena menunjukan unsur kekerasan. Acara-acara yang berkualitas di televisi semakin sedikit, berganti acara-acara tidak bermutu yang sekedar mengejar rating (jumlah penonton terbanyak).
Berdasarkan alasan di atas maka Penulis ingin mengetengahkan suatu penelitian dalam bentuk skripsi yang mengulas masalah di atas sehingga skripsi ini diberi judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TAYANGAN KOMEDI YANG MENGGUNAKAN UNSUR KEKERASAN SEBAGAI BAHAN LAWAKAN “.
B.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui masalah tanggung jawab lembaga penyiaran televisi dalam tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan ditinjau dari UU.No.32 tahun 2002 tentang penyiaran.
2.      Untuk mengetahui fungsi Yuridis Komisi Penyiaran Indonesia dalam hal adanya penayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini diharapkan oleh Penulis adalah:
1.      Sebagai bahan masukan bagi masyarakat dalam memahami masalah khususnya tentang tayangan komedi yang menggunakan kekerasan sebagai bahan lawakan
2.      Sebagai bahan masukan bagi para lembaga penyiaran publik dalam mengolah dan menata siaran khususnya yang berhubungan dengan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan
3.      Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menindaklanjuti masalah tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan untuk kepentingan perkembangan dunia penyiaran Indonesia.
C.    Perumusan dan Pembatasan Masalah
Tayangan komedi mempertontonkan perilaku kekerasan dengan maksud mengeluarkan lelucon, seperti saling memukul atau melempar barang, saling mencela dengan bahasa kasar yang tidak mendidik, tindakan-tindakan tersebut memang dimaksudkan untuk mengundang tawa pemirsa, namun hal tersebut tidak sepantasnya ditayangkan, apalagi banyak anak-anak yang melihat tayangan tersebut..
Tayangan tersebut jelas bertentangan dengan nilai etika dan moral dan Undang-Undang Penyiaran, tetapi masih banyak perusahaan stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran bersaing menayangkan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekeraasan sebagai bahan lawakan  
Yang menjadi masalah adalah :
1.      Bagaimana tanggung jawab lembaga penyiaran televisi dalam penayangan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan.
2.      Bagaimana fungsi Yuridis Komisi Penyiaran Indonesia dalam hal adanya penayangan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan.
D.    Metode dan Teknik Penelitian
Dalam penelitian hukum ini Penelitian menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, yaitu metode penelitian yang digunakan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dan menganalisisnya, serta kemudian mendeskripsikannya agar menjadi lebih mudah untuk dipahami dan dimengerti.
1.      Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang digunakan adalah :
a.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
b.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 Tentamg Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik.
d.      Peraturan Komisi Penyiaran nomor 03/P/KPI/12/2009 tentang Standar Program Siaran
2.      Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum diperoleh dari berbagai literatur seperti buku, makalah, majalah, dan tulisan-tulisan lainnya yang ada hubungannya dengna materi pembahasan.
Teknik pengumpulan bahan hukum :
1.      Bahan hukum primer
Dalam pengumpulan bahan hukum primer ini, Penulis melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan, lalu Peneliti mencatat bahan-bahan hukum yang terkumpul yang terkait dengan permasalahan, kemudian mengelompokkannya secara sistematis dengan membanding-bandingkan satu sama lainnya sehingga didapat suatu kesimpulan sebagai hasil penelitian.
2.      Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder ini dikumpulkan dari buku, makalah dan tulisan para ahli yang terkait dengan pembahasan. Bahan hukum ini diklasifikasikan dengan mengelompokkan secata sistematis, membanding-bandingkan satu sama lain untuk melihat apakah ada hubungan satu sama lainnya sehingga memudahkan menganalisanya.
Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum
1.      Teknik pengolahan bahan hukum
Semua bahan hukum baik primer maupun sekunder yang telah terkumpul lalu disusun dalam langkah-langkah normatif, setelah itu menghubungkan antara bahan hukum primer dan sekunder kemudian dianalisis sesuai dengan materi untuk merumuskan jawaban masalah yang diteliti.
2.      Analisis bahan hukum
Teknik analisis bahan hukum sekunder yang dipakai yaitu analisis teks, dimana dilakukan analisis teks terhadap perundang-undangan yang terkait dengan materi pembahasan, maupun analisis terhadap teks yang ada pada literatur-literatur yang terkait persoalan yang dijadikan obyek penelitian.

LANDASAN TEORITIS TENTANG TAYANGAN KOMEDI YANG      MENGGUNAKAN UNSUR KEKERASAN SEBAGAI BAHAN  LAWAKAN OLEH LEMBAGA PENYIARAN (STASIUN TELEVISI)


A.    Pengertian Lembaga Penyiaran Televisi
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran bahwa “Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau yang berbentuk grafis, karakter baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran”.
Pengertian “penyiaran” menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 disebutkan bahwa “Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab”.Karena siaran yang dilakukan adalah bertujuan untuk membina persatuan, mencerdaskan bangsa, maka siaran haruslah memenuhi asas penyiaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 diatas.
Menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang 32 Tahun 2002 disebutkan bahwa “Lembaga penyiaran adalah penyelenggaraan penyiaran baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung,- jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran setiap hari menawarkan program-program kepada pemirsa televisi, untuk menyampaikan informasi secara faktual dalam bentuk berita dan hiburan-hiburan dengan format acara seperti musik, talk show, infotainment, komedi, dan sinetron. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang 32 Tahun 2002 disebutkan bahwa “Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan”.
Televisi sebagai sarana penyiaran memiliki kelebihan diantara media masa lainnya, karena televisi bersifat audivisual (dilihat dan di dengar), dapat  menggambarkan kenyataan dan secara langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi kepada setiap pemirsa di manapun ia berada.
      Adapun karakteristik televisi sebagai berikut:
  1. Audiovisual : Televisi memiliki kelebihan dapat di dengar (audio) dan dilihat (visual). Karena sifat audiovisual ini, selain kata-kata televisi juga menampilkan informasi-informasi yang disertai gambar,baik gambar diam seperti foto, gambar peta, maupun film berita, yakni rekaman peristiwa.
  2. Berpikir dalam gambar: Ada 2 tahap yang di lakukan dalam proses ini, pertama: visualisasi,yaitu menterjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar-gambar.
Kedua: Penggambaran (picturization), yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna tertentu.
  1. Pengoperasian/cara kerja yang kompleks :Dibandingkan radio, pengoperasian televisi lebih kompleks karena lebih melibatkan banyak orang.[1]

Banyaknya keberadaan stasiun televisi, membuat persaingan antar stasiun televisi menjadi keras, mereka dituntut kreatif mengemas acara mereka agar menarik perhatian para sponsor untuk mendukung keberlangsungan acara mereka dan memiliki nilai jual kepada masyarakat dengan ditonton banyak orang . Hal tersebut yang membuat stasiun televisi berlomba menampilkan tayangan yang menarik perhatian masyarakat walaupun tayangan tersebut mungkin saja memunculkan dampak negatif.
Stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran seharusnya melakukan penyiaran dengan kaidah-kaidah yang ditentukan dalam perundang-undangan.Untuk itu lembaga penyiaran harus memperhatikan pokok-pokok penyiaran sebagaimana yang ditentukan dalam Penjelasan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang penyiaran yaitu :
1.      Penyiaran harus mampu menjamin dan melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpu pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.

2.      Penyiaran harus mencerminkan keadilan dan demokrasi dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masyarakat ataupun pemerintah, termasuk hak asasi individu/ orang dengan menghormati dan tidak mengganggu hak individu / orang lain.


B.     Tujuan Penyiaran Lembaga Televisi
            Penyiaran/siaran sebagai output media radio dan televisi memiliki fungsi yang sama dengan media massa lainnya, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, menghibur, mempromosikan, menjadi agen perubahan sosial, dan melakukan kontrol sosial, serta mentransfer nilai-nilai budaya.
           Setiap mata acara siaran direncanakan, diproduksi, dan di tampilkan, kepada khalayak dengan isi pesan yang bersifat edukatif, informatif, persuasif, dan komunikatif.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran disebutkan bahwa:
“Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mancerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia”.

Pengelolaan siaran, khususnya dalam hal perencanaan atau programming, diselenggarakan pada kesadaran bahwa, “siaran memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membangun dan menghancurkan masyarakat”.
Sebuah siaran, terutama televisi, memiliki  daya penetrasi yang sangat kuat terhadap individu dan kelompok/masyarakat, sehingga siaran televisi dapat menimbulkan dampak yang luas di masyarakat.
Kegiatan penyiaran meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Merencanakan program atau mata acara.
  2. Memproduksi atau melaksanakan program.
  3. Menyiapkan pola acara, baik harian, mingguan, bulanan, triwulan, atau persemester.
  4. Menyelenggarakan siaran, baik secara artistik maupun jurnalistik.
  5. Mengadakan kerja sama dengan lembaga penyiaran lain.
  6. Mengadakan kerja sama dengan production house.
  7. Mengadakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia.
  8. Mengadakan penelitian dan pengembangan.
  9. Menyelenggarakan pertukaran berita dan program dengan lembaga penyiaran, baik dari dalam maupun luar negeri.
  10. Menjual program dan melakukan promosi.[2]

                 Output penyelenggaran penyiaran adalah siaran. Siaran adalah suatu produk yang sangat potensial untuk di gunakan untuk tujuan-tujuan ideal dan pragmatis.
                  Siaran, baik radio maupun televisi, berkembang menjadi mata dagangan atau komoditi dengan sasaran khalayak sebagai konsumen. Siaran dapat dijual dapat pula dipakai untuk sarana menjual produk atau jasa.Hal ini  dikarenakan sarana khalayak yang dapat dijangkau melalui siaran relatif sangat luas, dan terutama televisi memiliki daya stimulasi yang sangat tinggi terhadap khalayak.
                  Daya tarik dan pengaruh program televisi sangat besar bagi masyarakat, namun kebanyakan program lebih menitikberatkan pada segi-segi hiburan. Tidak banyak program televisi yang sungguh bernilai, sebab memproduksi program yang sungguh baik, dalam arti menarik, menghibur, tapi juga bermanfaat serta mendidik bagi kehidupan pemirsanya sangat jarang sekali.
Sponsor sangat berperan atas terciftanya sebuah tayangan atau acara televisi, sebab tayangan hiburan dan informasi yang ditampilkan, hadir atas dukungan dana dari produsen pemasng iklan (sponsor).
Iklan di televisi terbagi menjadi dua, yaitu iklan komersial dan iklan layanan masyarakat. Iklan komersial merupakan suatu bentuk promosi hasil produksi perusahaan (makanan, obat-obatan, pakaian dan semacamnya)yang ditawarkan kepada khalayak sasaran melalui media massa
Ada tiga hal penting yang dapat kita lihat disini, sehubungan dengan masuknya iklan komersial di media massa, yaitu:
1.      Produsen mendapat keuntungan, apabila barang yang diiklankan, di beli konsumen atau pemirsa.
2.      Media massa menerima biaya periklanan yang ditayangkan dari perusahaan produksi barang.
3.      Pemirsa mengenal barang produksi yang diiklankan.[3]

 Di samping iklan komersial dalam media massa, terdapat pula iklan layanan masyarakat. Iklan ini, isi pesannya berasal dari golongan atau instansi tertentu (pemerintah, masyarakat, kelompok), yang memberikan informasi kepada masyarakat tentang sesuatu yang harus diketahui dan dituruti oleh pemirsa. Sifatnya hanya mengingatkan. Misalnya, membayar pajak, anti narkoba, anti korupsi, mensukseskan sensus penduduk, dan banyak lagi yang  lainnya.
 Ada tiga hal pokok yang juga dapat kita lihat, dengan munculnya, iklan layanan masyarakat di media massa ini, yakni:
1.      Menggugah kesadaran pemirsa untuk berbuat sesuatu.
2.      Isi pesannya bersifat umum.
3.      Isi pesannya menggunakkan kata himbauan atau anjuran.[4]

Keinginan untuk menarik sponsor sebanyak-banyaknya membuat stasiun televisi berlomba menjual kreatifitas dalam memformat acara semenarik mungkin walau kadang isi dari tayangan yang mereka tawarkan hanya di perhitungkan dari sisi komersilnya saja tanpa mengindahkan asas manfaat bagi masyarakat atau pemirsa televisi.
Munculnya tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan adalah salah satu contoh tayangan yang tidak memiliki asas manfaat bagi masyarakat, karena menurut penulis tayangan tersebut hanya mengeskploitasi kekerasan yang di balut dengan humor.
C.    Tayangan Kekerasan Di Televisi Sebagai Kejahatan Simbolik
Tayangan televisi memang menjadi alternatif di tengah berbagai kepahitan kehidupan. Bagi orang dewasa, televisi bisa menjadi sarana sublimasi bagi kejenuhan jiwa akibat tekanan kehidupan yang terus menghimpit, bagi anak-anak, televisi bisa menjadi sarana untuk melepas beban pelajaran yang dirasa berat. Bahkan di kalangan orangtua juga akan cenderung membenarkan anaknya untuk menonton televisi dalam waktu yang panjang ketimbang anaknya berada di luar rumah. Kekhawatiran berlebihan situasi di luar rumah, menghalalkan anak untuk berlama-lama di depan televisi. Namun menonton televisi juga memiliki dampak yang tidak sehat., sebab tayangan televisi ternyata juga tidak mendidik dan mengandung kekerasan simbolik.
Dalam pandangan salmi (2003: 31-39) Kekerasan dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu:
1.      Kekerasan langsung
Kekerasan lansung adalah tindakan yang menyerang fisik atau psokologis seseorang secara langsung sehingga mengancam hak hidup seseorang.
2.      Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban.
3.      Kekerasan refresif
Kekerasan refresif adalah kekerasan yang berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar. Misalnya hak berfikir dan beragama.
4.      Kekerasan alienatif
Kekerasan alienatif adalah kekerasan yang berhubungan dengan pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya berhubungan dengan kebudayaan dan intelektual.[5]

        Bagi para pelaku seni, kekerasan adalah bagian dari cerita atau skenario yang sengaja di buat untuk memunculkan konflik, hingga pada akhir cerita mencapai sebuah klimaks. Tetapi pada tayangan komedi kekerasan yang mereka lakukan adalah bentuk improvisasi secara spotanitas yang dilakukan para pelawak diluar dari naskah atau skenario.
Apapun alasannya menurut penulis kekerasan tidak boleh di jadikan nilai jual dari sebuah tayangan televisi, karena sangat bertentangan dengan ketentuan Agama dan peraturan perundang-undangan, akan tetapi hal ini masih kurang diperhatikan oleh pengusaha stasiun televisi. Perhatian masih tertuju pada keuntungan ekonomi yaitu jika suatu acara manarik perhatian masyarakat banyak maka akan banyak pula iklan yang akan dipasang oleh para produsen barang dan atau jasa.
Menurut Undang-Undang, penyiaran sebenarnya harus mengarah pada menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai Agama, serta jati diri bangsa, munculnya kekerasan di televisi sebenarnya jauh dari nilai-nilai keagamaan.
Dalam pasal 5 Undang-Undang 32 Tahun 2002 disebutkan bahwa :                                                          
Penyiaran di arahkan untuk :
1.      Menunjang tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.      Menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai Agama serta jati diri bangsa.
3.      Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
4.      Menajaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
5.      Meningkatkan kesadaran, ketaatan hukum, dan disiplin nasional.

Tayangan kekerasan juga bertentangan dengan beberapa pasal dalam UU. No. 32 Thun 2002, yaitu Pasal 36 ayat (1), 36 ayat (5), 36 ayat (6).  Pasal 36 ayat (1) berbunyi “Isi  siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas watak, moral, kemajuan kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan serta mengamalkan nilai-nilai Agama dan budaya Indonesia”.pasal 36 ayat (5) berbunyi :” Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau berbohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan obat terlarang,mempertentangkan suku, agam, ras, dan antar golongan.”.Dan pasal 36 ayat (6) Undang-Undang 32 Tahun 2002 berbunyi “Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan atau mengabaikan nilai-nilai Agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional”.

D.    Dampak Penayangan Tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan.
Banyak yang tidak manyadari bahwa tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan membawa dampak negatif secara tidak langsung, kebanyakan hanya menganggap positifnya saja yaitu dapat menjadi mata pencaharian para pelakunya serta menghibur hati pemirsa. Anak-anak cendrung konsumtif terhadap tayangan televisi, padahal apa yang mereka lihat hanya dapat mereka rangkum secara nalar dan logika mereka, yang tentu saja untuk menganalisis sebuah masalah tak setajam orang-orang dewasa.
Televisi bagitu marak menayangkan acara yang mengeksploitasi perilaku kekerasan, bahkan seolah menjadi tren. Lewat kemasan reality show dan komedi, keberadaannya digandrungi banyak pemirsa dari anak-anak sampai orang tua. Konsekuensinya, tayangan kekerasan yang ditonton oleh anak-anak secara terus menerus, menyebabkan anak-anak menjadi agresif dan mengubah sikap dan perilaku anak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bandura, 1973;Berkowitz, 1965; Bryan & schwartz,1971; Geen, 1978, dan Goranson,1970, menyimpulkan menyaksikan tayangan kekerasan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan dampak sebagai berikut:
1.                            Kekerasan mengajarkan perilaku agresif.
2.                            Menurunkan kemampuan mengekang perilaku agresif.
3.                            Berkurangnya kepekaan dan menganggap kekerasan sebagai hal biasa.
4.                            Tayangan televisi membentuk kesan tentang realitas (hjelle, 1981:262).[6]

Dalam proses belajar sosial (social learning process), Albert Bandura menggagas bahwa media massa merupakan agen sosialisasi utama selain orang tua, keluarga besar, guru, sekolah, sahabat , dan seterusnya. Bandura membaginya menjadi 4 tahapan, yakni :

1.                                          Proses Perhatian (Attention)
 Pada tahap ini seorang anak mengamati peristiwa secara langsung. Peristiwa atau kejadian dapat langsung atau tidak langsung. Peristiwa atau kejadian dapat saja berupa tindakan tertentu. Meskipun ada ratusan peristiwa yang dialami setiap hari, namun hanya beberapa saja yang menarik perhatian mereka. Peristiwa yang menarik perhatian mereka adalah kejadian yang mudah diingat, sederhana, menonjol, menarik, dan terjadi berulang-ulang. Tidak mengherankan tayangan kekerasan atau sejenisnya yang menonjolkan agresivitas sangat menarik perhatian mereka karena mudah diingat, sangat menarik perhatian, apalagi jika disiarkan berulang-ulang.
2.      Proses mengingat (Retention)
Dari tahapan perhatian terhadap peristiwa, seorang anak akan menyimpan peristiwanya ke dalam memorinya dalam bentuk imajinasi atau lambang secara verbal sehingga menjadi ingatan (memory) yang sewaktu-waktu dapat dipanggil kembali. Dengan kata lain, gambaran membanting atau memukul disimpan dalam visual imajinasi, bahasa, dan suatu saat dapat dipanggil kembali.
3.      Proses reproduksi motoris (motoris reproduction)
Pada tahapan ini, anak menyatakan kembali pengalaman-pengalaman yang sebelumnya perseptual. Hasil ingatan tadi akan meningkat menjadi bentuk perilaku. Dengan kata lain, tayangan kekerasan yang tersimpan dalam imajinasi dinyatakan kembali sehingga menghasilkan perilaku agresif.
4.      Proses motivasional (motivational)
Suatu motivasi sangat tergantung kepada peneguhan (reinforcement) yang mendorong perilaku seorang anak ke arah pemenuhan tujuan tertentu. Perilaku akan terwujud apabila ada nilai peneguhan, misalnya self reinforcement adalah rasa puas diri.[7]

Adanya Tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan, dikhawatirkan anak-anak akan meniru dan terpengaruh, karena tidak manyadari bahwa itu sekedar hiburan, mereka mengira itu adalah kehidupan sebenarnya.
Kode Bimbingan Orang tua (BO) hampir tidak jalan, orang tua tidak mungkin ikut-ikutan nonton TV sekian jam, karena penya kesibukan masing-masing. Ada yang mau kerja, istirahat, tidur, membaca koran, atau jalan-jalan. Rasanya sulit mengharapkan orang tua bisa selalu mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi.
Jika tayangan yang mengeksplorasi kekerasan dalam lawakan terus diberi toleransi malah difasilitasi dunia hiburan sebagai lahan komersil, nanti akan muncul fenomena kekerasan menjadi hal yang “lucu” di masyarakat.


TINJAUAN YURIDIS TENTANG TAYANGAN KOMEDI YANG MENGGUNAKAN UNSUR KEKERASAN SEBAGAI BAHAN LAWAKAN

A.    Masalah Tanggung Jawab Lembaga Penyiaran Televisi Dan Para Pelaku Dalam Penayangan Tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta fungsi ekonomi dan kebudayaan (Pasal 4). Dalam kenyataannya, fungsi hiburan relatif lebih menonjol dibanding fungsi informasi dan edukasi. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan lembaga penyiaran (televisi dan radio) lebih banyak dicermati sebagai lembaga bisnis semata. Karena keberadaan hiburan di dalamnya lekat dengan kepentingan ekonomi. Susahnya, kebanyakan hiburan yang muncul di lembaga penyiaran, khususnya televisi, bukanlah hiburan yang sehat.
Dalam rangka melaksanakan fungsi penyiaran sebagai penyedia hiburan yang sehat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai peran penting di dalamhya. Meskipun sudah cukup banyak KPI melakukan teguran kepada lembaga penyiaran terkait isi siaran yang tidak menyehatkan pemirsanya ini, tetap saja masih dijumpai acara-acara yang mengarah pada “pembodohan” masyarakat. karena acara-acara semacam itu mendapatkan nilai rating tinggi. Sampai sejauh ini lembaga penyiaran masih mengandalkan keberadaan isi siarannya pada nilai rating yang didapatkan setiap harinya.
Bagi lembaga penyiaran, tampaknya, rating lebih banyak disikapi sebagai instrumen ekonomi belaka. Bukan pendorong fungsi edukasi dan kontrol sosial. Masing-masing lembaga penyiaran yang ada berlomba-lomba menyajikan isi siaran yang disukai pemirsanya untuk mendapatkan nilai rating ini. Tinggi rendahnya hasil rating ini akan menentukan nasib sebuah acara dan lembaga penyiaran yang menampilkan acara tersebut. Sudah jamak dijumpai dalam industri penyiaran untuk menggunakan formula rating, iklan dan image sebagai indikator keberhasilan sebuah acara dan lembaga penyiaran yang menyiarkannya.
Tentu mencermati rating hanya sebagai semata-mata instrumen kepentingan ekonomi menjauhkan keberadaan media sebagai instrumen untuk kepentingan politik, sosial, dan budaya. Penggunaan frekuensi mempunyai implikasi serius bagi media untuk lebih melayani kepentingan publik terkait penyediaan informasi yang edukatif sebagai alat perekat sosial, kontrol sosial, dan hiburan yang sehat. Setidaknya lembaga penyiaran harus berusaha untuk menyeimbangkan semua fungsi tersebut. Tidak semata-mata kepentingan ekonominya saja. Dalam konteks semacam ini, KPI harus mampu membangun isi siaran yang sehat sekaligus iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait (Pasal 8 Ayat 3). Munculnya wacana rating publik ditengarai berada dalam arus penyehatan isi siaran tersebut.
Siaran televisi di Indonesia kebanyakan merupakan siaran publik sehingga dapat dinikmati oleh semua pengguna televisi. Hal tersebut menyebabkan segala konten yang diberikan oleh stasiun televisi dapat dinikmati secara bebas oleh mereka. Padahal dapat kita lihat banyak dari konten tersebut yang tak layak untuk dikonsumsi oleh audiens televisi karena audiens belum cukup umur atau konten tersebut terlalu banyak mendekandensi moral. Menjawab hal tersebut, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membentuk peraturan yang mengatur penyiaran media siar bernama Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Hanya saja, peraturan tersebut tak sepenuhnya ditaati oleh pelaku media siar. Bagaimana tidak dapat kita lihat dalam tayangan-tayangan televisi pada saat prime time yang notabene dapat ditonton oleh segala usia ditayangkan film-film komedi slapstick yang kasar dan tidak mendidik. Padahal sudah tercantum dalam Standar Program Siaran bahwa hal-hal seperti kekerasan, pelecehan terhadap kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kekurangan fisik tidak diperbolehkan.Bahkan stasiun-stasiun televisi berbondong-bondong membuat acara bertipe serupa karena pada kenyataannya acara seperti itu disukai oleh pemirsa televisi.
Sebut saja judul sebuah acara yang tengah naik daun tahun 2010 ini, Opera van Java yang ditayangkan Trans 7 setiap hari pukul 20.00 WITA .Tayangan komedi yang mengusung konsep pewayangan ini berhasil meraih rating tinggi dengan lelucon slapstick yang ditampilkannya. Kekerasan baik secara fisik maupun verbal dijadikan alat untuk memancing tawa penonton. Padahal penonton tak hanya datang dari kalangan dewasa saja, tapi juga anak-anak yang rentan meniru apa yang dia liat. Opera van Java salah satunya digawangi oleh Parto yang berperan sebagai seorang dalang yang mempunyai wewenang untuk mengatur alur cerita di setiap adegan. Sedangkan para pemain yang bertindak sebagai wayang, harus menuruti semua perintah yang diucapkan oleh dalang, oleh karena itu, para pemain dituntut untuk melakukan improvisasi adegan dan dialog dengan cepat. Dalam tayangan ini, alur ceritanya yang hanya diketahui oleh sang dalang, sehingga reaksi dan aksi spontan para pemain Opera Van Java ini akan mengalir dengan sendirinya.
Dalam Pasal 15 ayat (1) butir (g) menyebutkan bahwa “program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal”, seperti: kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti: HIV/AIDS, kusta, epilepsi, alzheimer, atau latah.”Azis Gagap sesuai nama panggungnya merupakan seorang penderita gagap. Gagap merupakan penyakit bawaan di mana seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan baik karena kesulitan dalam mengartikulasikan kata. Oleh karena itulah, sebagai seorang entertainer Azis tidak diizinkan untuk dieksploitasi kegagapannya. Hal tersebut juga tercantum dalam SPS pada pasal 15 ayat (2) butir (b) bahwa dalam menyiarkan program siaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilarang menjadikan kelompok-kelompok tersebut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan”.
Hal ini jelas-jelas dilanggar oleh Opera van Java karena menjadikan Azis sebagai bahan tertawaan di setiap episodenya. Sebagai contoh dalam episode “Drunken Master” yang ditayangkan pada 5 Maret 2009. Azis ditampilkan sebagai sosok yang tersiksa.
Selain itu, pada awalnya, Opera van Java pun menampilkan sosok Olga Syahputra sebagai personel tetap sebelum pada akhirnya ia pindah ke acara bergenre sama di ANTV (Seger Bener). Olga merupakan artis yang diasosiasikan sebagai laki-laki yang berperilaku seperti perempuan. Dalam hal ini, Olga pun kerap kali menjadi “objek” oleh para lawan mainnya.
Berdasarkan SPS pasal 15 ayat (1) butir (b)”dikatakan bahwa program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal”, salah satunya seperti, kelompok yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, yaitu waria, laki-laki yang keperempuan-perempuanan, atau perempuan yang kelaki-lakian. Olga merupakan salah satu di dalamnya. Dengan menampilkan Olga dalam frame demikian, maka tayangan OVJ telah melakukan pelecehan dengan sengaja terhadap kaum pria yang berperilaku seperti wanita.
Selain itu, seperti yang dikatakan pasal 15 ayat (2) butir (b) dalam pasal yang sama, orang-orang seperti Olga tidaklah pantas dieksploitasi untuk menjadi bahan tertawaan dan hiburan orang lain. Dengan menampilkan sosok Olga dan Azis Gagap, maka OVJ telah berkontribusi untuk membuat audiens memandang orang-orang yang kebetulan berperilaku seperti Olga (pria yang berperilaku seperti wanita) dan memiliki kekurangan fisik seperti Azis merupakan orang-orang yang lucu dan pantas ditertawakan, karena tak dapat disangkal salah satu fungsi media massa pada dasarnya adalah alat pendidik masyarakat. Jadi, jika audiens melihat bahwa di televisi orang-orang seperti Azis dan Olga patut ditertawakan karena kekurangannya, maka jangan salah jika melihat audiens mudah untuk menertawakan orang-orang dengan kekurangan yang sama.
Properti dari styrofoam memang digunakan agar komedi slapstick kasar macam ini untuk mendukung “kelucuan” para pemain ketika ada adegan saling pukul dan saling hantam dengan benda yang menyertainya. Namun adegan kekerasan itu tidak berbahaya karena jenis barang yang digunakan untuk memukul dibuat dari bahan Styrofoam.
Hanya saja, walaupun tidak menggunakan benda asli untuk melakukan aksi saling lempar dan memecahkan properti, tetap saja melakukan hal tersebut menjadi pelumrahan terhadap kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Dan jelas hal tersebut melanggar peraturan SPS pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan” program siaran dilarang membenarkan kekerasan atau sadisme sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam masalah penayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan di televisi ada dua pihak yang dapat diminta pertanggung jawaban yaitu lembaga penyiaran televisi dan pelawak itu sendiri. Untuk lemabaga penyiaran televisi, dimintakan pertanggung jawaban sebagai suatu badan hukum yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pedoman penyiaran yang ditentukan oleh Undang-Undang, sedangkan bagi pelaku komedi yang perilakunya ditayangkan di televisi bertanggung jawab secara pribadi walaupun ada arahan dari yang memerintahkan seperti tuntutan skenario dan sutradara.
Menurut Prof.Moeljatno bahwa adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1.            Kemampuan untuk membeda-bedakan anatara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
2.            Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.[8]

Dari pendapat diatas maka perilaku kekerasan yang digunakan sebagai bahan lawakan oleh para pelawak dilakukan mereka dengan sadar, perilaku kasar yang ditunjukan oleh para pelawak bukan masuk pada kelainan jiwa, tetapi aksi spontanitas dengan mengeksploitasi kekerasan untuk kepentingan komersil. Terhadapnya dapat dikenakan sanksi sesuai dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) dan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), dapat di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
Pada stasiun televisi, sebagai bentuk pertanggung jawaban maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi administratif karena telah menyalahgunakan izin usaha yang diberikan.Ketentuan yang paling akhir bagi lembaga penyiaran televisi yang telah menayangkan perilaku kekerasan sebagai bahan lawakan tidak mengindahkan segala teguran adalah pencabutan izin usaha. Akan tetapi sanksi ini dijatuhkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memeriksa dan memutuskan bahwa lembaga penyiaran televisi tersebut terbukti melakukan pelanggaran standar program siaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 34 ayat 5 huruf f  yang berbunyi “Izin penyelenggara penyiaran dicabut karena melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Teori tanggung jawab sosial menuntut media televisi untuk tidak sekedar menjadi unit bisnis dan media hiburan. Dengan sekedar menjadi unit bisnis maka penyelenggaraan siaran televisi akan menjadi sangat pragmatis, hanya soal untung rugi dan mengabaikan nilai dan prinsip serta pendidikan publik. Dengan sekedar menjadi media hiburan maka media televisi berorientasi kepada pasar, menyenangkan publik tanpa memperdulikan apa yang disajikan benar atau tidak, baik atau tidak dan perlu atau tidak. Tuntutan ini bukanlah sesuatu yang berlebihan mengingat media televisi mempunyai dua kekuatan penting. Pertama, media televisi menggunakan ruang publik secara leluasa. Siaran sebuah stasiun televisi dapat ditangkap di berbagai kota dan pelosok desa yang menerima siarannya pada saat yang sama sekaligus. Itu sebabnya, kalau media televisi tidak memikirkan tanggung jawab sosialnya maka siaran yang ditayangkan akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Kedua, media televisi dengan visualisasinya memiliki kekuatan pengaruh yang lebih besar dari koran dan radio. Visualisasi dapat membangkitkan imajinasi dan imitasi dengan sangat mudah. Itu sebabnya, jika media televisi tidak mempertimbangkan dan menyadari tanggung jawab sosialnya sungguh kehadiran media televisi bukanlah menjadi berkah bagi masyarakat tapi justru akan menjadi malapetaka. Karena dua kekuatan ini, maka perlu ada reposisi peran media televisi dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. Pertama-tama, media televisi tidak boleh melupakan fungsi edukasi di dalam penyiarannya.
Dengan demikian, maka berdasarkan uraian bahwa Lembaga Penyiaran Televisi dan para pelaku dalam penayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan yaitu keduanya melakukan penyimpangan dimana dimintakan pertanggung jawaban terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, karenanya harus dikenakan sanksi administratif sedangkan bagi para pelawak dapat dikenakan sanksi pidana.
Penerapan sanksi pidana kepada para pelawak di karenakan para pelawak menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan, perbuatan tersebut telah memenuhi unsur sebuah tindak pidana. Abdoel djamali dalam buku Pengantar Hukum Indonesia mengatakan “Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidana, sebagai berikut : unsur Objektif ( perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilanggar dengan ancaman hukuman), unsur Subjektif ( seseorang yag berakibat tidak di kehendaki oleh UU)”. [9]
B.     Masalah Fungsi Yuridis Komisi Penyiaran Indonesia Dengan Adanya Penayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan

Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran disebutkan bahwa “Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan didaerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran”.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat dalam penyiaran. KPI ini secara yuridis memiliki tugas dan wewenang khusus dalam bidang penyiaran terutama dalam mewujudkan tujuan penyiaran sesuai dengan Undang-Undang.
Dalam hal adanya penayangan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai lawakan, maka KPI dapat menjalankan fungsinya untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada stasiun televisi yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
Maraknya acara televisi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan membuat gerah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terlebih acara ini menjadi tren dan cukup digandrungi masyarakat karena kemasannya lumayan memikat seperti dalam bentuk reality show dan komedi. Tak tanggung-tanggung, peminat acara ini ternyata berasal dari segala umur, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Sekilas tayangan tersebut cukup menggelitik, apalagi moment saling pukul, saling dorong, saling menyakiti yang di lakukan oleh para pelawak. Perilaku yang membuat terbahak-bahak itu ternyata manjadi daya tarik untuk semua kalangan, kemudian tertarik untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
        Fungsi KPI dalam aturan undang-undang penyiaran sangat jelas, semua aturan penyiaran pun dinyatakan secara jelas, namun banyak orang yang notabenenya berstatus sebagai konsumen sebuah lembaga penyiaran, namun hanya sedikit yang mau mengadukan siaran yang melanggar ketentuan tersebut padahal tindak lanjut KPI berasal dari aduan masyarakat yang terganggu terhadap tayangan televisi yang meresahkan. Ada dua kemungkinan, berhubungan dengan hal pengaduan. Pertama, masyarakat benar-benar menikmati program acara TV yang mempertontonkan kekerasan tersebut, dalam artian  mereka kurang menyadari bahwa tontonan dapat menjadi sebuah stimulus bagi otak manusia, kemudian bisa saja menjadi sebuah doktrin apabila disaksikan berulang kali dan secara rutin, sehingga mendorong orang lain untuk berbuat hal yang sama. Kedua, ketidaktauan masyarakat luas tentang keberadaan KPI, fungsi KPI, serta mekanisme pelaporan yang mungkin saja di benak masyarakat akan menemui birokrasi yang sulit.
Fungsi pengawasan dan tindakan yang dilakukan oleh KPI dijalankan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang berbunyi :
1.      KPI sebagai wujud serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
2.      Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, KPI mempunyai wewenang :
a.       Menetapkan standar program siaran
b.      Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
c.       Mengawasi pelaksanaan peraturan pedoman dan perilaku penyiaran serta standar program siaran
d.      Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
3.      KPI mempunyai tugas dan kewajiban :
a.       Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia
b.      Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran

Berdasarkan pasal diatas, maka KPI berfungsi mengawasi segala bentuk penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran televisi termasuk tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan.                                                               
Pengawasan yang dilakukan oleh KPI juga mengharapkan peran serta masyarakat  dengan memberikan pengaduan atau keluhan terhadap tayangan kekerasan di televisi termasuk tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sabagai bahan lawakan, hal ini sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang berbunyi:
1.      KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran
2.      KPI wajib menerima aduan dari setiap dari setiap orang atau kelompok-kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran
3.      KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 huruf e
4.      KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab
5.      KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan lembaga penyiaran yang terkait

KPI yang kita harapkan mampu menjadi filter penyiaran, ternyata sama sekali tak berkutik terhadap kapitalisme. KPI seharusnya di posisi terdepan dalam melawan berbagai aksi propaganda terkait dengan kepentingan modal, bisnis dan ideologi kapitalisme, akibatnya, berbagai tayangan yang disiarkan oleh stasiun televisi lolos tanpa kritik dan memasuki ruang ruang publik secara leluasa dan KPI harus mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh meengaktualisasikan kewenangan yang diamanahkan Undang-undang Nomor : 32 tahun 2002, dengan tegas tanpa pandang bulu. Punishment tersebut sangat diperlukan untuk menimbulkan efek jera bagi stasiun televisi yang melanggar peraturan. Dengan demikian diharapkan program siaran yang ditayangkan bersih dari tayangan yang tidak layak tayang yang sangat meracuni jiwa, moral dan etika bangsa terutama kalangan remaja dan anak-anak.
Tayangan komedi memang memiliki nilai jual yang sangat tinggi, pada zaman sulit sekarang masyarakat lebih memilih tayangan yang tidak membuat mereka berfikir luas tentang tayangan tersebut sehingga memilih tayangan yang membuat mereka merasa terhibur. Hal itu pun di manfaatkan stasiun televisi menjual atau menawarkan format acara komedi, contohnya pada bulan ramadhan hampir setiap stasiun televisi menjadikan acara komedi sebagai tayangan utama untuk menemani masyarakat mulai dari santap sahur sampai berbuka puasa, namun sayang upaya ini tidak diimbangi dengan upaya edukasi yang seimbang.
Wakil Ketua KPI Fetty Fajriati, “Mengugkapkan KPI mencatat selama Ramadhan pada tahun 2009, telah terjadi 450 adegan program yang tidak layak tayang. Adegan tersebut mengandung unsur kekerasan dan pelecehan dalam lelucon yang ditampilkannya.,” [10]
Sebenarnya dari temuan tersebut KPI seharusnya dapat langsung menindaklanjuti dengan memberikan teguran kepada stasiun televisi yang menayangkan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan, tayangan komedi pada bulan Ramadhan justru sangat menjamur Namun, tayangan-tayangan tersebut tidak mempunyai muatan edukasi berarti. Kecenderungan yang ditampilkan hanya mengedepankan hiburan lelucon yang disajikan dengan kata-kata kasar dan makian. Hampir semua program terkesan jauh dari sesuatu yang mendidik.
MUI melalui Sekretaris Umumnya Ikhwan Syam dalam konferensi pers “Hasil Pantauan MUI terhadap Tayangan Televisi pada Pekan Pertama Ramadhan”, di Gedung MUI, Kamis (3/9). Mengatakan:”ciri umum ketidaksesuaian dengan spirit Ramadhan adalah banyaknya dialog dan adegan yang saling merendahkan, melecehkan, serta makian kasar. Kesemua hal tersebut paling banyak terjadi pada acara komedi yang ditayangkan secara langsung”[11]
Pernyataan MUI diatas berangkat dari pengamatan berbagai program yang dirancang untuk menyemarakkan syiar Ramadhan, ironisnya, banyak yang menampilkan perilaku yang jauh dari tuntunan Islam. Seperti kata-kata kasar, makian, memperolok-olok, merendahkan, dan melecehkan. Pakar pendidikan Prof Dr Arief Rahman ”menuturkan bahwa dia telah menampung banyak keluhan menyangkut tayangan pelecehan di televisi, saya tidak habis pikir, bagaimana stasiun televisi bisa leluasa menayangkan tontonan itu.”[12]
Adanya tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan dan pelecehan  sebagai lawakan juga mendapat perhatian sejumlah elemen masyarakat Hindu yang menamakan dirinya Paguyuban Dana Pati Bali dan Forum Komunikasi Global Bali dengan mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali, Selasa, 22 Juni 2010. Mereka minta KPID Bali menindak stasiun televisi Trans 7 karena menayangkan program Opera van Java Sabtu (19/6) pukul 21.00 WITA yang melecehkan Umat Hindu karena ada adegan pemainnya menendang-nendang Patung Ganesa. Sekretaris Forum Komunikasi Global Bali, Ketut Sangging Suherdi  mengunkapkan “Kami minta KPID bertindak, karena patung Ganesa merupakan salah satu simbol sakral yang dimiliki umat Hindu,”[13].
Dari pernyataan KPI, MUI, pakar pendidikan, serta berbagai tanggapan dari elemen masyarakat diatas seharusnya, KPI sebagai lembaga wewenang melakukan kontrol terhadap tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan, serta memberikan teguran kepada stasiun televisi dan kepada para pelaku dalam hal ini pelawak untuk tidak menggunakan kekerasan pada leluconnya, jika isi teguran tersebut ternyata belum bisa dilaksanakan oleh stasiun televisi maka terhadap acara tersebut KPI harus menghentikan acara sementara atau dilakukan pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu. Namun tindakan administratif ini bisa sampai pada pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran apabila sanksi di atas tidak bisa lagi dilakukan.
Menurut penulis, KPI baru sebatas memberi himbauan dan peringatan-peringatan bagi stasiun televisi yang melanggar standar program siaran. Artinya KPI belum pernah melakukan penindakan berupa sanksi hukum dengan menutup siaran televisi tersebut. Kalau hanya imbauan dan peringatan, tanpa ada sanksi hukum tentu saja tidak direspons  mereka, seperti yang terjadi selama ini.
Peran KPI periode 2007-2010 dirasakan belum maksimal melaksanakan UU no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan masih lemah posisinya pada dunia industri. Tjahjo kumolo Anggota DPR RI dari partai PDI-P mengatakan,”belum maksimalnya kinerja KPI bisa mengganggu perkembangan generasi muda. Tekanan yang paling hebat datangnya dari industri penyiaran, sedangkan nasib generasi muda bertumpu pada KPI”.[14]
Sebenarnya jika dilihat dari segi materiilnya, penjatuhan sanksi adminstratif kurang tepat karena yang dilanggar adalah ketentuan Pasal 36 ayat 6, sedangkan untuk sanksi administratif adalah untuk Pasal-Pasal yang ditentukan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang berbunyi :
1.      Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (7), Pasal 34 ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (11) dikenakan sanksi administratif.

2.      Sanksi administratif sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) dapat berupa :
a.       Teguran tertulis
b.      Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu
c.       Pembatasan durasi dan waktu siaran
d.      Denda administratif
e.       Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu
f.       Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran
g.      Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran

3.      Ketentuan labih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Dilanggarnya ketentuan Pasal 36 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 sudah merupakan tindak pidana sehingga KPI tidak perlu lagi menjatuhkan sanksi administratif akan tetapi melaporkan kepada pihak kepolisian berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa stasiun televisi telah melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 36 ayat (6) sehingga sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi pidana bukan sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang berbunyi :
 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (sati miliar rupiah), untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), untuk penyiaran televisi setiap orang yang:
1.            Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
2.            Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6);

A.    Kesimpulan
1.      Lembaga penyiaran televisi dan para pelaku dalam penayangan tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan keduanya melakukan penyimpangan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dengan melanggar Undang-Undang tersebut.
2.      Komisi Penyiaran Indonesia dengan adanya tayangan komedi yang menggunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan yaitu sebagai suatu komisi belum melakukan pengawasan secara maksimal dan menjatuhkan sanksi terhadap lembaga penyiaran televisi yang menayangkan perilaku kekerasan yang melanggar nilai-nilai Agama dan Undang-Undang.
B.     saran
1.      Komisi Penyiaran Indonesia lebih melakukan pengawasan terhadap lembaga penyiaran dalam hal siaran-siaran yang bertentangan dengan nilai agama dan Undang-Undang dan KPI harus bekerja lebih aktif terhadap tayangan-tayangan yang tidak layak tayang tanpa menunggu adanya aduan dari masyarakat.
2.      Hendaknya para pelaku terutama para pelawak dan lain sebagainya tidak menajadikan kekerasan sebagai bahan lawakan karena hal tersebut selain bertentangan dengan Undang-Undang juga membawa pengaruh negatif bagi perkembangan jiwa anak-anak di bawah umur yang tidak dibimbing dalam menonton siaran atau acara tersebut.
3.      Tayangan-tayangan televisi idealnya tak hanya asal menghibur dan laku jual, namun sekaligus harus mampu mendatangkan manfaat positif bagi masyarakat luas. Di sinilah tantangan itu menghadang para pengelola televisi di tanah air, yakni bagaimana menciptakan sebuah kemasan tayangan yang menarik, menghibur, laku jual, dan sekaligus mampu memberikan pendidikan sehat bagi pemirsanya.



[1] Riswandi, Dasar-Dasar Penyiaran, Graha Ilmu, Jogjakarta, 2009, Hal 5-6

[2] Ibid, Hal 14
[3] Drs.wawan Kusmawandi, “Komunikasi massa sebuah analisis tayangan televisi”, PT.Rineka Cifta, Jakarta 1996, Hal 123
[4] Ibid,Hal 123

[5] Sunarto,”Televisi, kekerasan & perempuan”,PT.Kompas Media Nusantara,Jakarta 2009, Hal 47-48

[6] Drs.E.B. Surbakti, M.A, “Awas Tayangan Televisi,tayangan misteri dan kekerasan mengancam anak anda”,PT.Elex media Komputindo,Jakarta 2008, Hal 141
[7] Ibid, hal 144-145

[8] Prof. Moleljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cifta, Jakarta, 2002, Hal. 165

[9] R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia edisi revisi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal 175
[10] Fetty Fajriaty,kpi 450 adegan di televisi tidak layak tayang mui tidak sesuai spirit ramadhan,answerring wordpress,3 September 2009
    

[11] Ikhwan syam, kpi 450 adegan di televisi tidak layak tayang mui tidak seseuai spirit ramadhan,answering,wordpress,3 September 2009
[12] Prof Dr Arief Rahman,keluhan tayangan pelecehan pada televisi,answering wordpress,3 September 2009
[13] Ketut Sangging Suherdi, Masyarakat Bali Protes, “Opera van Java” Lecehkan Hindu, kpi.go.id, 22 Juni 2010.
[14] Tjahjo kumolo, kinerja kpi belum maksimal, tribunnews, 26 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar